Breaking

The Power of Kepepet

Breaking News / Cover Story / Slider / Top News / January 10, 2020

Sosok pencipta lagu mungkin akan selalu kalah tenar dibandingkan orang lain yang membawakan lagu itu, atau bahkan dengan lagu karyanya sendiri tadi. Saat sekian dekade silam, di awal 90-an aransemen syahdu Nothing Compares 2 U dibawakan Sinead O’ Connor dengan penuh penghayatan dan sohor di mana-mana, tak banyak yang tahu atau ingin tahu kalau musisi eksentrik Prince adalah pencipta dan penyanyi pertamanya. Ketika penikmat musik di Indonesia jatuh hati pada Sheila Majid setelah mendengar Antara Anyer dan Jakarta, pembahasan tentang versi orisinil yang disuarakan Atiek CB jarang bersahut. Apalagi yang membahas Oddie Agam penulisnya.

 

Cikal bakal Himne Sinar Mas pun demikian adanya. Tahun 2006 silam, Human Resources Department PT Sinar Mas Agro Resources and Technology Tbk atau PT SMART tengah menimbang tak kurang dari 3 buah tembang guna menyuarakan visi, misi berikut nilai-nilai korporasi, garapan para musisi profesional. Meski punya sebegitu banyak alternatif, mereka belum juga merasa menemukan kecocokan. “Kamu kan suka bikin bikin komposisi, suka bikin lagu gitu. Bantu kami membuat untuk himne,”  begitu mereka meminta bantuan.

 

 

 

Selain berisikan Sinar Mas Shared Values, pedoman lain yang mereka sampaikan adalah Chairman Sinar Mas Agribusiness & Food, Franky O. Widjaja yang begitu terinspirasi pada Love Changes Everything, lagu tema pementasan lakon teater Aspects of Love karya komposer legendaris Andrew Lloyd Webber. Beliau kerap memutar lagu tadi, termasuk memperdengarkannya jelang memulai rapat. Apakah rambu-rambu itu terlampau longgar atau justru kelewat sempit, nyatanya Vincentia Arie – sosok yang dimintakan bantuan menuliskan lagu – memang berangkat dari sana. “Saya cari lagu yang menjadi referensi tadi. Jadi kurang lebihnya, lagu itu yang mengilhami saya,” ungkapnya sembari beberapa kali berpindah tempat dari pantry dan ruang tamu kantornya, PT Trans Bumi Serbaraja – salah satu perusahaan di bawah payung Sinar Mas Land – yang bernaung di satu sisi Green Office Building, BSD City.

 

Arie menduga aktivitas bermusiknya melatari datangnya permintaan menggubah lagu. Ia mengingat jikalau sang ibu di Kediri, Jawa Timur, kerap bermain piano, diantaranya guna mengiringi aktivitas senam yang dilakukan kelompok masyarakat di awal kemerdekaan dulu. Klop dengan sang ayah yang seorang multi instrumentalis, dan sering memainkan biola. “Memang tumbuh dalam keluarga yang suka musik sekaligus memfasilitasi dengan beberapa alat musik, termasuk piano.” Pendidikan musik diperolehnya dari para biarawan di gereja memakai referensi buku berbahasa Belanda. Mulai bermukim di Jakarta pada tahun 1990, Arie lanjut bermusik lewat paduan suara, baik di kantor maupun saat momen pelayanan di gereja. Sejumlah karya gubahannya, selama ini lebih banyak untuk keperluan pribadi dan kelompok peribadatannya.

 

Aktivitas bermusik yang panjang, menjadikan Arie cukup percaya diri, “Tidak ada kesulitan. Saya terbiasa membuat aransemen sesuai kebutuhan kegiatan maupun anggota sehingga prosesnya berlangsung cepat. Saat mendengar ‘butuh besok’, berkat  the power of kepepet, semakin dilancarkan pembuatannya,” ceritanya diiringi tawa. Bahkan dirinya merasa tidak perlu (mungkin juga tidak sempat) mendengarkan hyme yang dimiliki perusahaan lain sebagai pembanding. “Saya benar-bener membangun karakterisasi berdasarkan dari six values. Itu saja.”

 

“Tiba di rumah jam 10 malam. Terus saya buat draft kata-katanya. Gak nonstop juga, jadi sempat saya tinggal untuk makan malam, mandi dulu. Sampai akhirnya semua tuntas lepas jam 1 pagi. Untuk demo nya, ya sudah, saya buat dengan dasar piano sebagai musiknya,” urainya tentang proses kreatif yang ia lalui ketika itu. “Lantas siapa yang menyanyikannya? Karena suami saya suka menyanyi, saya bangunkan, dan memintanya untuk melakukan take vocal.”

 

Bukan hanya mumpuni olah vokal, sang suami, Vincent Hakim yang seorang penulis sekaligus jurnalis dengan latar belakang pendidikan filsafat, menjadikan malam itu mereka bak songwriter duo maut. “Kami berdiskusi soal kosa kata, pemilihan kata-kata. Jadi istri saya bertanya soal padanan kata yang puitis tapi maknanya lebih bagus, kata-kata yang indah tapi tidak mengurangi makna. Biasanya istri saya mengajak diskusi di situ,” kata Vincent seputar sinergi mereka dalam penulisan lagu. Selepas tigabelas tahun berlalu, dirinya membutuhkan bantuan lirik yang ditulis tangan pada selembar kertas oleh sang istri berikut penayangan himne via video daring Youtube guna menggugah ingatannya kala redaksi memintanya menyanyikan langsung Himne Sinar Mas.

 

“berkat the power of kepepet, semakin dilancarkan pembuatannya”

 

Meski keduanya menolak disebut komposer, pasangan ini menjalani kehidupan yang musikal. Seperti halnya Arie, Vincent juga rutin bermusik dan menyanyi di gereja. Di luar itu, sejak SMP, ia telah aktif ngeband hingga sekarang. Menjalani hari sebagai seorang penulis lepas sembari mengantar jemput sang istri, “Saya tidak ahli, karena hanya membantu jika ada yang meminta. Selebihnya, saya suka jazz, kadang main perkusi, sering menyanyi, tapi paling sering mendengarkan saja,” papar Vincent. Kedua anak mereka gemar pula bermusik. Bahkan si bungsu tengah menuntaskan penggarapan single di Amerika Serikat, alias adalah seorang recording artist.

 

Itu menjelaskan mengapa hyme dapat mereka tuntaskan dengan cekat dalam waktu yang singkat. Seingat Arie, dini hari itu, mereka berdua hanya membutuhkan tak lebih dari 3 kali pengisian vokal sebelum pada pagi harinya demo rekaman diserahkan. Perjalanan lebih panjang berlangsung pada tahapan approval dari pihak SMART, kemudian berlanjut ke tahapan mixing dan mastering di studio, yang memunculkan aransemen untuk paduan suara secara lengkap. “HRD menyampaikan ke saya, ada permintaan dari manajemen. Saya pikir, terlepas dari kita membuat lirik dengan kesamaan bunyi atau rima, untuk kepentingan penyampaian pesan, saya tidak punya keberatan apapun,” ujar Arie mengenang revisi pada bridge yang awalnya berbunyi “satu tekad arungi zaman, tuk Sinar Mas yang terdepan” dan kini terdengar “satukan tekad arungi zaman, ‘tuk Sinar Mas terus jaya.”

 

 

Sebegitu efisien dan ekonomis proses lahirnya Himne Sinar Mas sedari ide bermula, berlanjut hingga ke studio, karena paduan suara yang mengisi vokal pun memanfaatkan talenta dari SMART. Seperti ditambahkan Arie, “Vokal utama, karena ketika itu belum ada penyanyi yang disodorkan perusahaan, saya masih menggunakan vokal suami saya. Kebetulan cocok sampai sekarang. Masih dipakai versi original-nya.” Arie mengaku hanya membutuhkan kurang dari sebulan menyelesaikannya, “Kan sambil bekerja. Selesai, bertemu, terus latihan di studio.”

 

Sekian tahun membahana ditengah kerumunan warga Sinar Mas (ini sesuatu yang cukup besar mengingat ada lebih dari 300.000 karyawan bernaung di sana), hal yang membuatnya berbahagia adalah, “Saat melihat prosesnya yang dari kita untuk kita. Benar-benar bisa dikatakan hasil karya internal,” kenang Arie. Jangan juga melewatkan fakta, bahwasanya demo lagu rampung hanya dalam semalam.

 

SMILE Magazine edisi ke-20, Januari 2020. Bagian keempat dari enam artikel

 

Penulis: Jaka Anindita

Kontributor: Yulrando Dave

Foto: Noveradika

Editor naskah: Sidhi Pintaka

Desain: Dede Ilham Fitriana


Tags: , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,



Jaka Anindita
Pemimpin Redaksi




Previous Post

Membedakan Himne, Mars atau Jingle

Next Post

Himne ‘Kekinian’





You might also like



0 Comment


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *


More Story

Membedakan Himne, Mars atau Jingle

Meski satu suara mengatakan penayangan maraton Himne Sinar Mas di kantor tak ‘mengganggu’ sama sekali, namun Sugianto,...

December 27, 2019