Kisah Sukses Daniel, Petani Binaan Desa Makmur Peduli Api

Terdapat 11 jenis tanaman dan buah-buahan tumbuh subur di lahan seluas 1,3 hektare milik Daniel (37 tahun), petani asal Dusun Sungai Langer, Desa Mengkiang, Kecamatan Sanggau Kapuas, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat. Padi beras hitam, kopi, cabai, lada, petai, dan jengkol ditanam berdampingan dengan pisang, jeruk, sirsak, durian, dan nangka.

Daniel membagi lahan ladangnya ke dalam beberapa area atau jalur untuk menciptakan variasi tanaman sehingga lahan bisa dimanfaatkan secara berkelanjutan.

Hasil pertanian yang sebelumnya hanya digunakan untuk konsumsi keluarga, kini mampu memberikan peningkatan pendapatan. Dari 300 pohon pisang yang berasal dari empat jenis, Daniel memperoleh pendapatan Rp600.000 per pekan. Sedangkan dari cabai dan lada, dia mendapatkan Rp400.000 sebulan. “Dengan kegiatan berladang ini, saya bisa mendapatkan Rp1.000.000 seminggu,” ujarnya.

Tanah warisan orang tua ini dulunya dipenuhi pohon-pohon karet tua berusia puluhan tahun. Kontur tanahnya pun tidak rata, hampir 70 persen landai dengan tingkat keasaman tinggi. Tapi hal itu tidak mengurangi semangat Daniel yang bertekad menjadi petani ladang.

Daniel, petani Dusun Sungai Langer, Kabupaten Sanggau, Kalbar, menanam 11 tanaman di ladangnya seluas 1,3 hektare. Lewat metode Sanggau Farming System (SFS) padi, pisang, lada, cabai dan buah-buahan telah menjadi sumber pendapatannya. (Foto: Dokumen APP Sinar Mas)

Yang membedakan Daniel dengan para petani di Dusun Sungai Lenger adalah dia telah meninggalkan teknik pembukaan lahan dengan cara dibakar dan berpindah-pindah. Mayoritas petani di sana masih membuka lahan dengan dibakar dan ladang berpindah-pindah karena sudah menjadi tradisi turun-temurun.

“Untuk mengubah perilaku dari pertanian yang berpindah-pindah, maka saya harus membujuk warga secara perlahan-lahan. Harapannya kalau saya bisa mengajak lima KK untuk menerapkan praktik pembukaan lahan tanpa bakar (PLTB), maka lahan terbakar atau titik api akan berkurang 5 hektare per tahun,” katanya.

Daniel mengenal PLTB melalui program Desa Makmur Peduli Api (DMPA) yang diperkenalkan PT Finanntara Intiga, unit usaha Asia Pulp & Paper (APP) Sinar Mas di Kalimantan Barat. Program DMPA mendukung masyarakat untuk mengelola lahan dengan metode agroforestri, yakni bercocok tanam tumpang sari hortikultura (sayur dan buah), tanaman pangan, peternakan, dan perikanan. Selain itu, membangun industri kecil-menengah untuk olahan pangan dan kerajinan tangan untuk dijual sebagai alternatif sumber penghasilan keluarga.

PLTB yang dilakukan Daniel menggunakan metode Sanggau Farming System (SFS). Ada dua prinsip Sanggau Farming System yakni prinsip penghasilan dan prinsip penataan. Prinsip penghasilan dibagi menjadi tiga, yakni tanaman yang bisa memberikan penghasilan harian seperti sawi kampung, mentimun, bayam, pendapatan bulanan seperti pisang, lada, cabai, dan penghasilan tahunan yakni kopi, padi, jeruk, sirsak, durian, nangka, petai, dan jengkol.

Metode ini juga berpegang ada prinsip penataan lahan yang mensyaratkan lima hal, yaitu tata ruang, tata waktu, tata kelola, tata pengairan, dan tata niaga. Dengan metode SFS, produktivitas lahan meningkat sekaligus memelihara kelestarian alam dan lingkungan sekitar. Saat ini Daniel baru bisa mengajak tiga kepala keluarga di Dusun Sungai untuk melakukan praktik PLTB. “Saya berharap dengan membuktikan hasil yang saya peroleh dengan cara seperti ini, warga lainnya juga bisa mengikuti,” katanya.

Sebagai orang pertama dan yang paling konsisten menerapkan PLTB di Sanggau, upaya Daniel mendapat perhatian dari pemerintah kabupaten setempat. Bersama 12 kelompok tani, dia diminta pendapat dan sarannya oleh Kepala Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan Kabupaten Sanggau yang berencana menerapkan praktik PLTB seluas 300 hektare di tiga dusun pada 2020.

Pria tamatan SMK ini juga diundang menjadi pembicara dalam Forum Diskusi Pojok Iklim yang diadakan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), pada 13 November 2019 lalu. Usaha Daniel pun telah mendapat penghargaan Program Kampung Iklim dari KLHK pada 2017 karena memelopori praktik PLTB.

 

Sumber: Tempo