Listrik dari Limbah Akasia

Mesin pembangkit listrik menjadi penyemangat bagi ribuan pekerja di lingkungan pabrik OKI Pulp and Paper Mills. Aliran listrik dari bangunan menjulang berwarna biru itu menerangi area pabrik seluas 1.598 hektare di Desa Bukit Batu, Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan. Sejumlah fasilitas di pabrik kertas terbesar di Asia itu beroperasi dengan listrik dari pembangkit berbahan bakar limbah kayu akasia.

Pembangkit listrik tersebut dibangun bersebelahan dengan fasilitas pengolahan air bersih, bahan bakar terbarukan dari lindi hitam, dan pengeringan pulp atau bubur kertas menjadi lembaran. Berkapasitas 4×125 megawatt, pembangkit itu akan dipakai untuk pengoperasian pabrik sepanjang hari. Satu dari empat power plant sudah melewati proses uji coba.

Saat pembangkit diistirahatkan pada 5 Oktober lalu, operator kembali menyalakan beberapa dari 12 generator set (genset) berbahan bakar solar yang masing-masing berkapasitas 3 megawatt. “Genset hanya dipakai saat konstruksi dan start-up pabrik. Di saat normal, genset tidak dioperasikan,” kata Komisaris PT OKI Pulp and Paper Mills, Suhendra Wiriadinata.

Fasilitas pembangkit listrik itu terdiri atas dua unit power boiler yang menggunakan bahan bakar dari limbah kayu akasia. Kapasitas uap yang dihasilkan mencapai 840 ton setiap jam. Adapun satu unit recovery boiler beroperasi menggunakan bahan bakar getah kayu akasia. Kapasitas uap yang dihasilkan 2.030 ton per jam. Uap bertekanan tinggi ini digunakan untuk menggerakkan turbin yang terhubung dengan generator dan menghasilkan listrik.

Direktur PT OKI Pulp and Paper Mills, Gadang Harto Hartawan, mengatakan pabrik tersebut juga dilengkapi dengan dua unit bark gasifier. Unit ini merupakan reaktor untuk mengubah kulit kayu menjadi gas metan untuk bahan bakar lime kiln, unit untuk mengubah batu gamping yang dipakai dalam industri kertas.

Selama ini lime kiln beroperasi dengan memakai bahan bakar gas. Gadang mengatakan reaktor tersebut menghasilkan energi setara dengan 180 megawatt. “Seluruh pembangkit beroperasi 24 jam dan hanya dihentikan saat perawatan rutin tahunan,” ujarnya.

Gadang mengungkapkan, keberadaan pembangkit listrik tersebut dapat menekan biaya produksi. Pabrik itu memasang target produksi 2,8 juta ton bubur kertas dan 500 ribu ton tisu setiap tahun.

Teknologi yang dipakai juga dapat mengurangi pencemaran lingkungan. Asap sisa pembakaran dari unit boiler akan melewati electrostatic precipitator (ESP) alias alat penyaring debu. Alat pemantau emisi juga dipasang di setiap cerobong untuk memonitor kualitas udara yang keluar. Kegagalan fungsi penyaringan pada ESP akan segera diketahui oleh operator di ruang kendali karena kualitas udara dipantau secara terus-menerus.

Kulit dan getah kayu akasia menjadi bahan baku utama untuk energi pembangkit listrik tersebut. Di sekitar pabrik ada jutaan pohon akasia siap tebang yang digunakan dalam industri kertas dan limbah untuk energi pembangkit listrik. Ketersediaan bahan baku juga dibantu oleh sejumlah pengelola hutan tanaman industri, seperti PT Bumi Andalas Permai, PT SBA Woods Industries, dan PT Bumi Mekar Hijau.

Menurut Najib Asmani, akademikus dari Universitas Sriwijaya, hampir seluruh bagian batang akasia dapat dimanfaatkan untuk industri kertas dan pembangkit listrik. Akasia juga bisa diolah menjadi pupuk organik dan pencegah penurunan permukaan lahan gambut. “Kulitnya dijadikan sumber energi berbasis biomassa. Jadi, tidak ada yang terbuang,” kata Najib, yang menjadi koordinator tim restorasi gambut di Sumatera Selatan.

Efektivitas kulit akasia sebagai sumber energi bergantung pada kalori yang terkandung di dalamnya. Namun ia meyakini para pelaku industri kertas sudah memahami hal itu sehingga memperhitungkan komponen pendukung. “Fungsinya sudah bisa menggantikan batu bara atau solar,” ujar Najib.

Bukan hanya akasia yang dapat dijadikan sumber pengganti energi fosil. Dalam kajiannya, pohon sawit yang tidak produktif lagi juga bisa dipakai sebagai sumber energi.

Potensi energi ini di Sumatera Selatan berlimpah karena akan ada penanaman ulang (replanting) pohon sawit di lahan seluas satu juta hektare secara bertahap. Dalam setahun, kebun sawit yang ditanam ulang berkisar 20-40 hektare. “Replanting untuk sawit di atas 25 tahun. Kalau tidak dimanfaatkan, bakal menimbulkan masalah baru,” ujarnya

(Sumber: Tempo )