Kisah Srikandi di Tengah Kepungan Asap

Kaus dan manset menutupi badan serta tangannya, berpadu dengan hijab ungu bermotif bunga menemani dokter Priselia memeriksa kondisi kesehatan para pasiennya. Berbeda dengan kesehariannya bertugas di ruang praktik Eka Hospital Pekanbaru, Riau, dirinya mesti berkeliling menyambangi tiap pos komando Pemadam Kebakaran Hutan di Kawasan Tanjung Jabung Timur, Jambi.

“Setiap harinya kurang lebih 10 petugas (pemadam kebakaran) yang diperiksa,” kenang Priselia ketika bertugas saat musim kemarau tahun 2019 lalu. Dia juga bercerita selalu membekali petugas dengan memberikan vitamin tambahan.

dr. Priselia tengah melakukan penanganan kepada salah satu regu pemadam kebakaran.

Priselia bercerita pengalamannya bergelut dengan asap kebakaran hutan, masker selalu siaga menemaninya, siap pakai kala asap menusuk tajam ke pernapasan.

“Kami kerap meminta tambahan obat-obatan dan juga oksigen portabel. Pada situasi saat ini, lebih efektif membekali petugas lapangan dengan oksigen portabel. Asap yang pekat menyebabkan suplai oksigen ke otak berkurang. Mereka mudah pusing,” ujarnya memberi gambaran akan tugas yang dijalani rekan-rekan prianya, para pemadam kebakaran.

Tak kurang enam bulan telah ia jalani di sana, selama itu pula aktivitasnya adalah naik turun ambulans, melakukan pemeriksaan dari tenda ke tenda.

“Sebetulnya ada beberapa dokter lain, tetapi kebetulan saya yang lokasinya paling dekat. Jadilah saya yang diperbantukan,” tambahnya. Jambi ‘memanggilnya’ setelah lajang yang menyelesaikan studinya tahun 2017 ini memilih meninggalkan Jakarta, kembali ke daerah yang telah ia kenal dengan baik. Setelah seharian melakukan pemeriksaan, saat beristirahat umumnya datang jelang pukul 21 atau 22 malam.

Dokter Priselia tak sendirian, di Baung, Sumatera Selatan, ada dr. Irma Mariany Sitohang (28), Dwi Indah Lestari (25) dan Putri (22) yang juga merabas hutan guna memeriksa kesehatan para pemadam kebakaran yang tengah beraksi ketika karhutla tengah berlangsung sepanjang musim kemarau 2019 lalu.

dr. Irma Mariany Sitohang sedang memeriksa kondisi kesehatan RPK.

“Biasanya ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut) yang menyerang mereka. Kami juga bekali dengan obat untuk luka bakar dan obat gatal. Air bersih yang langka membuat mereka berhari-hari tidak mandi. Pakaian basah bercampur keringat yang terus mereka gunakan kadang membuat gatal,” jelas dr. Irma.

Puncak kemarau menandakan tingginya potensi kebakaran lahan, artinya para petugas pemadam mesti bersiaga, tak bebas berpindah, apalagi meninggalkan lokasi. Solusinya, para petugas medis yang aktif mendatangi mereka. Siang itu, Dokter Irma sempat keluar dari jalan utama, lanjut menembus kawasan sisa kebakaran yang tengah dibasahi oleh satu regu pemadam, agar tak kembali membara.

Setelah pemeriksaan, umumnya mereka meminta agar bisa mendapatkan salep obat gatal. Maklum, di sana, air sukar diperoleh dan yang ada pun umumnya jauh dari bersih.

“Saya belajar soliditas, kekompakan dan memiliki semangat yang luar biasa. Itu yang bisa saya contoh dari mereka,” papar Irma yang sebagaimana Priselia, biasa bertugas di Eka Hospital Pekanbaru. Doanya, ia berharap hujan segera turun, menggantikan peluh petugas yang sudah berhari-hari memadamkan api tanpa kenal lelah.

Kadang kala, jalur darat sama sekali tak tersedia, artinya tim medis mesti berpindah ke jalur perairan, berperahu motor melintasi sungai atau kanal. Seperti yang dialami Putri dengan menempuh sekian kilometer menumpang ketinting, sebutan warga setempat bagi perahu kayu bermotor. Serunya, di tengah jalan, petugas yang mendampinginya mendapat panggilan radio untuk membantu pemadaman.

“Petugas naik ke hutan yang terbakar. Mereka bilang, Putri ini ada golok. Gunakan kalau diperlukan. Kami harus bantu pemadaman terlebih dahulu,” kenangnya.

dr. Irma Mariany Sitohang (tengah), Putri (kiri), Dwi Indah Lestari (Kanan) menyusuri sungai menggunakan ketinting.

Seorang diri di kawasan bekas terbakar tanpa tahu kapan akan dijemput sempat meruntuhkan morilnya.

“Saya tak tahan pula. Menangis. Antara cemas dan tidak tahu apa yang harus dilakukan. Karena hampir dua jam menanti mereka,” ujarnya.

Setelah semua berlalu, dirinya justru mengaku tak kapok dengan aktivitasnya.

Senada, Irma, Intan dan Putri mengaku sebelumnya bukan penikmat aktivitas alam terbuka, namun setelah penugasan lapangan kali ini, mereka merasa tertantang untuk dapat kembali merasakannya.

Puncak musim kemarau 2019, sepanjang Agustus hingga September membuat Asia Pulp & Paper (APP) Sinar Mas menyiagakan segenap sumber daya pencegahan kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang ada di seluruh wilayah konsesi pemasoknya, mulai dari Riau, Sumatera Selatan, Jambi hingga sebagian Kalimantan. Regu Pemadam Kebakaran atau RPK tak hanya bertugas mengamankan areal konsesi, namun kerap kali melintas jauh. Api tak boleh dibiarkan. Setidaknya, jarak 5 kilometer di luar konsesi masih menjadi ruang aksi mereka.

Penanggulangan kebakaran secara terintegrasi atau dikenal sebagai Integrated Fire Management, IFM – yang memayungi aspek pencegahan, persiapan, deteksi dini dan respons – mengharuskan tak hanya elemen pemantauan, pencegahan serta pemadaman saja yang hadir di lokasi, namun juga para petugas medis. Sosok Priselia, Irma, Dwi dan Putri adalah sebagian diantara mereka yang memiliki kapasitas, niatan, beserta kerelawanan.

 

Kilas Korporasi – Kompas.com

Anda bisa membaca kisah-kisah menarik lainnya dari kegiatan yang dilakukan oleh Sinar Mas dan pilar usahanya di kanal Kilas Korporasi yang dipersembahkan oleh Kompas.com melalui tautan ini.